Siapakah orang shalih? Apakah orang shalih harus punya ilmu sakti? Apakah orang shalih harus nampak berjidad hitam, memakai sorban dan baju putih?
Saat kita tasyahud, kita seringkali membaca bacaan berikut,
السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ
“ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBADILLAHISH SHOLIHIIN (artinya: salam untuk kami dan juga untuk hamba Allah yang shalih).”
Disebutkan dalam lanjutan hadits,
فَإِنَّكُمْ إِذَا قُلْتُمُوهَا أَصَابَتْ كُلَّ عَبْدٍ لِلَّهِ صَالِحٍ فِى السَّمَاءِ وَالأَرْضِ
“Jika kalian mengucapkan seperti itu, maka doa tadi akan tertuju pada setiap hamba Allah yang shalih di langit dan di bumi.” (HR. Bukhari, no. 831 dan Muslim, no. 402).
Shalihin adalah bentuk plural dari shalih. Ibnu Hajar berkata, “Shalih sendiri berarti,
الْقَائِم بِمَا يَجِب عَلَيْهِ مِنْ حُقُوق اللَّه وَحُقُوق عِبَاده وَتَتَفَاوَت دَرَجَاته
“Orang yang menjalankan kewajiban terhadap Allah dan kewajiban terhadap sesama hamba Allah. Kedudukan shalih pun bertingkat-tingkat” (Fath Al-Bari, 2:314).
At-Tirmidzi Al-Hakim berkata,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَحْظَى بِهَذَا السَّلَام الَّذِي يُسَلِّمهُ الْخَلْق فِي الصَّلَاة فَلْيَكُنْ عَبْدًا صَالِحًا وَإِلَّا حُرِمَ هَذَا الْفَضْل الْعَظِيم
“Siapa yang ingin meraih ucapan salam yang diucapkan oleh setiap orang yang sedang shalat, maka jadilah hamba yang shalih. Jika tidak, maka karunia yang besar (berupa doa selamat) diharamkan untuk diperoleh” (Fath Al-Bari, 2:314).
Al-Fakihani berkata,
يَنْبَغِي لِلْمُصَلِّي أَنْ يَسْتَحْضِر فِي هَذَا الْمَحَلّ جَمِيع الْأَنْبِيَاء وَالْمَلَائِكَة وَالْمُؤْمِنِينَ ، يَعْنِي لِيَتَوَافَق لَفْظه مَعَ قَصْده
“Setiap orang yang shalat baiknya menghadirkan hati dalam shalatnya yaitu ia mendoakan selamat untuk para nabi, para malaikat, dan orang-orang yang beriman. Hal ini agar bersesuaian antara lafazh doa dan ia maksudkan.” (Fath Al-Bari, 2:314).
Intinya, hamba yang shalih bukanlah yang hanya memperhatikan ibadah, shalat dan dzikir. Hamba yang shalih juga punya hubungan yang baik dengan sesama. Karena demikianlah Nabi kita yang mulai diutus. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad, 2:381, sahih)
Hamba shalih berarti tidak durhaka pada orang tua, tidak berlaku kasar pada istri, tidak memutuskan hubungan silaturahim dengan tetangga, dan tidak berakhlak buruk dengan kaum muslimin lainnya.
Moga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang shalih yang selalu memperhatikan kewajiban terhadap Allah dan terhadap sesama.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
—
Selesai disusun selepas Zhuhur di Darush Sholihin, 19 Dzulhijjah 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com